Selasa, 29 April 2014

Makalah Ulumul Qur'an (Tafsir Bi riwayah Dan Dhiroyah)

MAKALAH

التcفسير بالرواية و الدراية

 

Dipresentasikan pada Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Oleh Dosen Pembimbing Ibnu Rowandi Ma

Oleh :

ADTMAN A. HASAN
Nim:131032002



PROGRAM STUDI BAHASA ARAB
FAKULTAS TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN SULTAN AMAI GORONTALO
TAHUN 2013/2014

BAB I
مقدمة

A.  BAGAN (مخطط/رسم البيان)
TAFSIR BI AL-MA’TSUR
DAN TAFSIR BI AR-RA’YI

Klasifikasi
Definisi
Tafsir bi riwayah
Tafsir bi diroyah
Kesimpulan
Empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran tafsir bi al-ma’tsur
Tafsir bi Al-Ma’tsur
Contoh
Contoh
Analisis Pribadi
Tafsir Bi Ar-Ra’yi
Pendapat Para Ulama
 























B.   DEFINISI TAFSIR BI RIWAYAH DAN BI DHIROYAH
1.      Tafsir Bi riwayah / Bi Al-Ma’tsur
التفسير با لماثور : هو الذ ي يعتمد علي صحيح المنقول بالمراتب التي
ذكرت سابقا في شروط المفسر, من تسير القرآن, او بالسنة لكتاب الله, او بما روي عن الصحابة لانهم اعلم الناس بكتاب الله, او بما قاله كبار التابعين لانهم تلقوا ذالك غالبا عن الصحابة.[1]
Tafsir bi Al-Ma’tsur ialah tafsir yang berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan al-quran dengan al-quran, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabulla>h, atau dengan perkataan para sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabulla>h  atau dengan apa yang di katakan oleh tokoh-tokoh besar tabi’yn karena pada umumnya mereka menerima dari para sahabat.
2.      Tafsir Bi Diroyah / Bi  Ra’yi
التفسير بالراي : هو ما يعتمد فيه المفسر في بيان المعني علي فهمه
الخاص و استنبا طه بالراي المجرد .
Tafsir bi ar-ra’yi yaitu tafsir yang mufassirnya di dalam menjelaskan makna hanya mengandalkan pemahaman dan menistinbathkannya dengan menggunakan logika semata.

C.   PENDAPAT PARA ULAMA
1.      Tafsir bi Al-ma’tsur
·      Menurut Muhammad Husain Al-Dzahabiy
ما جاء القرآن نفسه من البيان وتفصيل لبعض اياته, وما نقل عن الرسول الله صلي الله عليه وسلم, وما نقل عن الصحابة رضوان الله عليهم, وما نقل عن التابعين, من كل ما هو بيان و توضيع لمراد الله  تعالي من نصوص كتاب الكريم
Sesuatu yang berasal dari al-quran berupa penjelasan atau uraian bagi sebahagian ayatnya, atau sesuatu yang berasal dari Rasul (hadits, penulis), atau yang berasal dari para sahabat  ra dan dari tabi’in, selama (semua itu) berupa penjelasan atau uraian mengenai maksud Allah Swt dari Nash kitab al-quran.
·      Menurut Muhammad ‘abd al-‘Azhim al-Zarqany dan Muhammad ‘Aliy al-Shabuniy
ما حاء في القران أو السنة, كلام الصحابة, بيانا لمراد الله تعالي
Sesuatu yang berasal dari al-quran, atau sunnah maupun perkataan sahabat yang menjelaskan maksud  Allah Swt (di dalam al-quran, penulis)
·      Menurut Shalah ‘abd al-fattah al-khalidiy
ما روي عن الرسول الله صلي االه عليه و سلم, او الصحاية, او التابعين, من رواية نقليه مروية في تفسير القرأن
Sesuatu yang diriwayatkan dari Nabi Saw, dari para sahabat, atau tabi’in berupa riwayat yang terkait dengan penafsiran al-quran
2.      Tafsir Bi riwayah
·         Menurut al-Rumiy
{هو} عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد
Yaitu istilah untuk penafsiran al-quran dengan menggunakan ijtihad
·         Menurut al-Dzahabiy
{هو} عبارة عن تفسير القرأن بالإجتهاد, بعد معرفة المفسر لكلام العرب و منا حيهم في القول, ومعرفة للألفظ العربية ووجوه د لالتها, و استعانته في ذالك بالشعر الجاهلي وو قوفه علي أسباب النزول, ومعرفة بالنايخ و المنسوخ من ايات القرأن, و غير ذالك من الأدوات يحتاج اليه المفسر
Yaitu istilah untuk penafsiran al-quran dengan menggunakan ijtihad, setelah seorang mufassir tersebut menguasai kalam arab dan pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui bahasa arab, dan wujuh dilalahnya, serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir jahiliyyah, asbab al-nuzul, mengetahui nasikh dan mansukh, dan ilmu-ilmu lain yang dibutuhkan oleh para mufassir
·         Menurut al-Shabuniy
...يعتمد علي إجتهاد المبني علي اصول الصحيحة, وقواعد سمليمة متبة
Yaitu tafsir dengan menggunakan ijtihad, yang dibangun atas dasar yang shahih serta kaidah yang benar dan patut diikuti.




















BAB II
البحث
A.  KLASIFIKASI TAFSIR BI AL MA’TSUR  DAN BI AR-RA’YI
1.    Tafsir bi Al – ma’tsu>r (Ar-riwayah)
Sebagaaimana di jelaskan Al – farmawy, tafsir bi Al – ma’tsu>r (disebut pula bi Ar-riwayah dan an-naql) adalah penafsiran Al-qur’a>n yang mendasarkan pada penjelasan al-qur’an sendiri, penjelasan rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, aqwal tabi’in.[2] Jadi bila merujuk pada definisi di atas, ada empat otoritas yang menjadi sumber penafsiran bi Al-ma’tsu>r.
a.       Al-qur’an yang dipandang sebagai terbaik terhadap al-qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surat Ali-imran {33}:1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun sempit, dan seterusnya.
b.      Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi sebagai penjelas (mubayyin) Al-qur’an. Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata Az-zulm’ pada surat al-an’am {6} dengan pengertian syirik; dan pengertian ungkapan ‘Al-quwwah dengan Ar-ramy (panah) pada firman Allah:
( (#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B OçF÷èsÜtGó$# `ÏiB ;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È……@øyÜø9$#
Artinya:
Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda “ (Q.S Al-Anfal [8]:60)

c.       Otoritas penjelasan sahabat yang di pandang sebagaiorang yang banyak mengetahui Al-qur’an. Misalnya, penafsiran Ibnu Abbas(w. 68/687) terhadap kandungan surat An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d.      Otoritas penjelasan Tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat. Misalnya, penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat {{[37]: 65 dengan sya’ir ‘Imr Al-Qays.
Tidak diperoleh alasan yang memadani mengapa penafsiran tabi’in dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bil Al-ma’tsur. Padahal, dalam menafsirkan Al-Qur’an, mereka tidak hanya mendasarkan pada riwayat yang diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide-ide mereka. Dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan ijtihad dan memberi interpretasi sendiri terhadap Al-Quran.[3] Disamping itu, mereka –berbeda dengan sahabat – tidak mendengar langsung dari Nabi, dan tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika Al-Quran turun.[4] Oleh sebab itu, otoritas mereka sebagai sumber penafsiran Al-Quran bi Al-ma’tsu>r masih diperdebatkan para ulama. Diantara para ulama yang menolak otoritas mereka adalah Ibnu Syaibah dan Ibnu ‘Aqli. berkenaan dengan otoritas mereka, Abu Hanafiah berkata, “Apa yang datang dari Rasulullah harus diterima;Apa yang datang dari tabiin, (kita menyikapinya) mereka adalah laki-laki dan kami pun laki-laki. Namun, mayoritas ulama, seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim (w. 118/736), Abi Al-‘Aliyyah Ar-Rayyah, Hasan Basri (w. 110/728), dan ‘Ikrimah menerima otoritas mereka karena umumnya mendengar langsung dari sahabat.
Dalam pertumbuhannya, tafsi>r  bi Al-ma’tsu>r menempuh tiga periode I, yaitu masa Nabi, sahabat, dan permulaan masa tabiin ketika tafsir belum tertulis dan secara umum periwayatannya tersebut secara lisan (musyafahah). Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadis secara resmi pada masa pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd Al-‘Zziz (95-101). Tafsir bi Al-ma’tsu>r ketika itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis dan dihimpun dalam salah satu bab-bab hadis. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi Al-ma’tsu>r yang berdiri sendiri.
Di antara kitab yang dipandang menempuh corak bi Al-ma’tsu>r adalah:
1)      Jamil’ Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, karya Ibn Jarir Ath-Thabari (w. 310/923),
2)      Anwar At-Tanzil, karya Al-Baidhawi (w. 685/1286),
3)      Al-Durr Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, karya Jalal Ad-Din As-Suyuthi (w. 911/ 1505),
4)      Tanwin Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz Zabadi (w. 817/1414), dan
5)      Tafsi>r Al-Qura>n Al-Adzi>m, karya Ibnu Katsir (w.774/1373)
Satu-satunya kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang barang kali murni adalah tafsir Ad-Durr Al-Mantsu>r, karya As-Suyuthi. Mengingat merupakan corak tafsir yang merujuk –di antaranya—kepada Al-Quran dan Al-Hadis, dua sumber kehidupan umat islam, dapat dipastikan tafsi>r bi Al-ma’tsu>r memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran lainnya. Di antara keistimewaan itu, sebagaimana dicatat Quraish Shihab,adalah sebagai berikut:
1.      Menekankan pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
2.      Memaparkan ketelitian redaksi ayat ketika menyampaika pesan-pesannya.
3.      Mengikat mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus dalam subjektivitas yang berlebihan.
Sementara itu, Adz-Dzahabi mencatat kelemahan-kelemahan tafsir bi Al-ma’tsu>r sebagai berikut.
1.      Terjadi pemalsuan (wadh’) dalam tafsir. Dicatat oleh Adz-Dzahabi bawha pemalsuan itu terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan di kalangan umat islam yang menimbulkan berbagai aliran seperti Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Dia antara sebab pemalsuan itu, menurutnya, adalah fanatisme madzahab, politik, dan usaha-usaha umat islam. Terma pemalsuan dalam tafsir yang dikatakan Adz-Dzahabi dengan kegiatan penafsiran di kalangan penganut aliran-aliran islam (mungkin maksudnya non-Ahlussunnah wal Jama’ah) tidak selamanya tepat. Penulis melihatnya sebagai perbedaan perspektif dalam menafsirkan Al-Quran, suatu hal yang tidak selamanya negative, bahkan tidak dapat dihindarkan. Bila kemunculan aliran-aliran itu harus tetap dikaitkan dengan kelemahan tafsir bi Al-ma’tsu>r, kelemahan itu berupa dijadikannya ayat-ayat Al-Quran sebagai legitimasi ajaran-ajaran aliran tersebut.
2.      Masuknya unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang masuk ke dalam penafsiran Al-Quran . persoalan Israiliyat sebenarnya sudah muncul semenjak Nabi masih ada. Hal itu berdasarkan dua hadis Nabi yang diriwayatkan Ahmad bi Hambal tenang dialog Umar bin Al-Kaththab dan Nabi mengenal tulisan yang besar dari Ahli Kitab, dan hadis Al-Bukhari yang berisi perintah Nabi untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan berita yang datang dari Ahli Kitabin Kedua hadis itu mengindikasikan bahwa pada masa Nabi, sebagian sahabat menerima riwayat Israiliyat. Namun, pada masa itu, Israiliyat belum menjadi persoalan yang parah, mengingat yang dilakukan para sahabat masih berada dalam batas-batas kewajaran. Israiliyat menjadi persoalan serius ketika berada pada masa tabiin. Pada saat itu, Israiliyat tidak saja telah bercampur antara yang sahih dan yang batil, tetapi juga banyak yang dapat merusak akidah umat. Dalam sejarah, Israiliyat demacam itu masuk dan tersebar melalui tafsir bi Al-ma’tsu>r.
3.      Penghilangan sanad
Eksistensi sadad yang menjadi salah satu kualifikasi keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsi>r bi Al-ma’tsu>r tidak dikemukakan lagi. Akibatnya, penilaian terhadap riwayat itu sulit dilakukan sehingga sulit pula untuk membedakan mana yang sahih dan mana yang tidak. Tafsir muqatil bin Sulaima>n barangkali cukup representative bagi contoh kitab tafsir yang tidak disertai dengan sanad.
4.      Terjerumusnya sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele sehingga pesan pokok Al-Quran menjadi kabur.
5.      Sering konteks turunnya ayat (asabab An-Nuzu>l) atau sisi kronologis turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (na>sikh-mansu>kh) hamper dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan turun ditengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.[5]

2.    Tafsir Bi Ar-ra’yi (Al-dirayah)
Berdasarkan pengertian etimologi, “ra’yi” berarti keyakinan  (I’tiqad), analogi, (qiyas), dan ijtihad. Dan “ra’yi” dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan demikian, tafsir bi Ar-ra’yi (disebut juga tafsir bi Al-dirayah) –sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Dzahabi – adalah tafsir yang penjelesannya diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil huku yang ditunjukkan, serta problema penafsiran seperti Asba>b  An-Nuzu>l, na>sikh-mansu>kh, dan sebagainya. Adapun al-farmawi mendefinisikannya sebagai berikut: Menafsirkan Al-quran dengan ijtihad setelah terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui meetode yang digunakan orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata-kosa kata arab beserta muatan-muatan artinya. Untuk menafsirkan A-Qur’an dengan ijtihad, si mufassir pun di bantu oleh syi’ir jahiliyyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh, dan lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mufassir sebagaimana diutarakan pada penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi Al-ra’yi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran belakangan setelah tafsir bi Al-ma’tsu>r muncul walaupun sebelum itu ra’yu dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan Al-Quran. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa sahabat adalah ijtihad.
Di antara sebab yang memicu kemunculan “corak” tafsir bi Al-ra’yi adalah semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Di antara mereka, ada yang plebih menekankan pada telaah balaghah seperti Az-Zamakhsyari, atau telaah hukum-hukum syara’ seperti Al-Quran, atau telaah keistimewaan bahasa seperti Abi As-Su’ud, atau telaah qira’ah seperti An-Naisaburi dan An-Nasafi, atau telaah madzhab-madzhab kalam dan filsafat seperti Ar-Razi, atau telaah-telaah lainnya. Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab di samping sebagai seorang mufassir, seseorang bisa saja juga ahli dalam bidang fiqih, bahasa, filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam. Dengan demikian, tatkala ada ayat Al-Quran yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka keluarkan sebuah pengetahuan tentangnya, sampai-sampai terkadang mereka lupa akan inti dari ayat bersangkutan.
Kemunculan tafsi>r bi Ar-ra’yu dipicu pula oleh hasil interaksi umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena itu, di dalam tafsi>r bi Al-ra’yi akan ditemukan peranan akal sangat dominan. Dari sana, muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana yang kita lihat saat ini.
Mengenai keabsahan tafsi>r bi Al-ra’yi, para ulam terbagi ke dalam dua kelompok.
1.      Kelompok yang melarangnya. Bahkan, menjelang abad II H., “corak” penafsiran ini belum mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut ini:
a.       Menafsirkan Al-Quran berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan semata. Padahal, Allah berfirman :
Ÿwur ß#ø)s? $tB }§øŠs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# uŽ|Çt7ø9$#ur yŠ#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Q.S. Al-Isra’[17]: 36)

b.      Yang berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ ̍ç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍköŽs9Î) öNßg¯=yès9ur šcr㍩3xÿtGtƒ ÇÍÍÈ

Artinya:
Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan” (Q.S. Al-Nahl [16]: 44)
c.       Rasulullah bersabda:
مَنْ قَالَ فِي القُرْاَنِ بِرَأْيِهِ أَوْ بِمَا لَا يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
Artinya:
Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya,maka persiapkanlah mengambil tempat di neraka.”

مَنْ قَالَ فِي القُرْاَنِ بِرَأْيِهِ فَأَصاَبَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Artinya:
Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap keliru walaupun secara kebetulan hasil penafsirannya itu benar”.
d.      Sesudah merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika berbicara tentang penafsiran Al-Quran. Misalnya Abu Bakar pernah berkata ketika ditanya tentang penafsiran Al-Quran:
اَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي, وَاَيُّ اَرْضٍ تُقِلُّنِي, وَاَيْنَ اَذْهَبُ, وَكَيْفَ اَصْنَعُ, إِذَ قُلْتُ فِي حَرْفٍ مِنْ كِتَابِ اللهِ بِغَيْر مَا أَرَادَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَي 
Artinya:
   “Langit mana yang akan melindungiku; bumi mana yang memberiku tempat berpihak, ke mana aku hendak pergi; dan apa yang hendak aku lakukan, jika aku menjelaskan Al-Quran dengan sesuatu yang tidak dikehendaki Allah.”
2.      Kelompok yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut.
a.       Di dalam Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan Al-Quran. Misalnya firman Allah:
Ÿxsùr& tbr㍭/ytGtƒ šc#uäöà)ø9$# ôQr& 4n?tã A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ

Artinya:
Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Quran ataukah hati mereka terkunci?”
(Q.S. Muhammad [47]: 24)

…. öqs9ur çnrŠu n<Î) ÉAqß§9$# #n<Î)ur Í<'ré& ̍øBF{$# öNåk÷]ÏB çmyJÎ=yès9 tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o öNåk÷]ÏB 3
Artinya:
_Dan kalau mereka menyerahkannya kepa Rasul dan Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui kebenarannya ((akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).” (Q,S. An-Nisa’ [4]: 83)
Ayat yang pertama, kata mereka, jelas menyuruh kita untuk merenungkan dan memikirkan Al-Quran. Ayat kedua menjelaskan bahwa di dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang maksudnya dapat ditangkap oleh hasil ijtihad orang-orang pandai.
b.      Seandainya tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri tidak menjelaskan setiap ayat Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan berijtihad terhadap ayat-ayat yang belumdijelaskan Nabi.
c.       Para sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Quran dengan ra’yi-nya. Seandainya tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu keliru.
d.      Rasulullah pernah berdoa untuk Ibn ‘Abbas. Do’a itu berbunyi:

اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Artinya:
Ya Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas dan ajarilah ia takwi>l.”
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menuqil riwayat saja, tentunya pengkhususan doa di atas untuk Ibn ‘Abbas tidak bermakna apa-apa. Dengan demikian, maka taqwil yang dimaksud dalam doa itu adalah sesuatu di luar penuqilan, yaitu ijtihad dan pemikiran.
Selanjutnya, para ulama membagi “corak” tafsir bi Ar-ra’yi pada dua bagian:
Ada tafsir bi Ar-ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah) da nada pula yang ditolak/tercela (mardud/madzum). Tafsir bi ar-ra’yi dapat diterima selama menghindari hal-hal berikut:
1.      Memaksakan diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.      Mencoba menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah semata).
3.      Menafsirkan Al-Quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.      Menafsirkan ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab tersebut.
5.      Menafsirkan Al-Quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah demikian…tanpa didukung dalil.
Selama mufassir bi ar-ra’yi menghindari kelima hal di atas dengan disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak demikian, berarti ia menyimpang dari cara yang dibenarkan, sehingga penafsirannya tidak dapat diterima.
Di antaro contoh tafsir  bi ar-ra’yi  yang tidak dapat diterima adalah sebagai berikut:
1.      Penafsiran golongan Syi’ah terhadap kata “Al-Baqarah” (Q.S Al-Baqarah [2]: 67) dengan ‘Aisyah r.a.
2.      Penafsiran sebagian mufassir terhadap surah Al-Baqarah [2] ayat 74:
¨bÎ)ur z`ÏB Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ㍤fxÿtFtƒ çm÷ZÏB ㍻yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o ßlã÷uŠsù çm÷YÏB âä!$yJø9$# 4 ¨bÎ)ur $pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku ô`ÏB ÏpuŠô±yz «!$# 3
Artinya:
Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaraya sungguh ada yang meluncur jatuh, karena takut kepada Allah.” (Q.S.Al-Baqarah :74)
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir, berbicara, dan jatuh karena takut kepada Allah, seperti teks ayat di atas.
3.      Penafsiran sebagian mufassir terhadap surah An-Nahl [16] ayat 68:
4ym÷rr&ur y7/u n<Î) È@øtª[$# Èbr& ÉσªB$# z`ÏB ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/ z`ÏBur ̍yf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷ètƒ ÇÏÑÈ
Artinya:
Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, Buatlah sarang-sarang dibukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang dibikin manusia.”
Mereka berpendapat bahwa di antara lebah-lebah itu, ada yang di angkat sebagai nabi-nabi yang diberi wahyu oleh Allah, dan mereka mengemukakan cerita-cerita yang bohong tentang kenabian lebah. Semantara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia membuat sarang-sarang dan madu.
4.      Perhatikan sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman [55]: ayat 33)
uŽ|³÷èyJ»tƒ Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ) öNçF÷èsÜtGó$# br& (#räàÿZs? ô`ÏB Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur (#räàÿR$$sù 4 Ÿw šcräàÿZs? žwÎ) 9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ
Artinya :
“  Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi) penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali dengan kekuatan.”

Ø  Pandangan Ulama Tentang Kebolehan Tafsîr bi al-Ra’yi
Ulama berbeda pandangan mengenai kedudukan tafsîr bi al-ra’yi. Ada yang melarang secara mutlak, ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan dengan memberikan persyaratan. Masing-masing mereka mengemukakan argumen sebagai penguat pendapatnya, baik aqli’, maupun naqli. Adapun alasan yang dipakai oleh mereka yang menolak tafsîr bi al-ra’yi adalah:
1)      Menurut mereka tafsîr bi al-ra’yi  sama halnya dengan perkataan terhadap Allâh tanpa memiliki ilmu, dan hal itu dicela oleh ayat al-Qur’ân.\
2)      Allâh telah menobatkan Rasul-Nya sebagai penjelas al-Qur’ân, itu artinya –menurut mereka- tidak boleh bagi yang lain untuk menafsirkan al-Qur’ân dengan logikanya
3)      Rasul telah melarang untuk menafsirkan al-Qur’ân dengan logika (tafsîr bi al-ra’yi), sebagaimana yang terdapat dalam hadîts  di atas.
4)      Adanya atsâr yang menjelaskan bahwa sahabat dan tabi’in sangat memuliakan tafsîr dan merasa keberatan berpendapat –dengan ra’yi- di dalam tafsîr.
      Adapun alasan yang dipakai oleh mereka yang membolehkan  tafsîr bi al-ra’yi adalah:
1)      Adanya perintah Allâh untuk men-tadabbur al-Qur’ân, yang berarti menyuruh untuk menela’ahnya dengan memberdayakan akal.
2)      Allâh telah memuji orang-orang yang meng-istinbath-kan makna dan dilalah ayat, mereka adalah ulu al-Albâb, mereka adalah orang yang ber-ijtihâd di dalam menafsirkan al-Qur’ân dengan ra’yi-nya.
3)      Menurut mereka jika tafsîr bi al-ra’yi memang dilarang, bagaimana mungkin ijtihâd dibolehkan.
4)      Adanya do’a Nabi untuk ibn ‘Abbâs : “ اللهم فقهه في الدين وعلمه التأويل ”. Jadi bagaimana mungkin tafsîr bi al-ra’yi dilarang, padahal di sisi lain justru Nabi mendo’akan ibn ‘Abbâs dengan do’a ini
5)      Kenyataan yang menunjukkan adanya perbedaan penafsiran di kalangan sahabat. Hal ini menunjukkan bahwa penafsiran mereka juga berasal dari ijtihâd mereka.
Terlepas dari kedua kelompok di atas, al-Dzahabiy dan ‘Allâmah al-Râghib al-Ashfahâniy berpendapat bahwa tafsîr bi al-ra’yi dibolehkan selama sesuai dengan al-Qur’ân dan Sunnah serta menjaga syarat-syarat tafsîr, Begitu pula halnya dengan pendapat Ibn Taimiyah dan al-Zarqâniy. 
Dan terkait dengan kebolehan tafsîr bi al-ra’yi, kemudian al-Zarqâniy mengemukakan langkah kerja yang harus ditempuh oleh mereka yang menafsirkan al-Qur’ân dengan tafsîr bi al-ra’yi ini yaitu:
1)      Meng-istinbat-kan maknanya dari al-Qur’ân,  hadîts, atau perkataan sahabat maupun tabi’in.
2)      Jika tidak ditemukan, maka mesti berijtihad dengan langkah:
a.       Dimulai dari  pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi sharf dan isytiqâq.
b.      Mencari makna kalam sesuai susunannya yang terkait dengan i’râb dan balaghah.
c.       Mendahulukan makna haqîqi dari pada  majâzi, d. Memperhatikan asbâb al-nuzûl.
d.      Menjaga maksud dari siyâq al-kalam.
e.       Memperhatikan sâbiq dan lâhiq, baik dalam satu ayat, maupun antar ayat.
f.        Menyesuaikan antara tafsir dengan yang di-tafsîr-kan.
g.      Menyesuaikannya dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, termasuk dengan sejarah bangsa arab waktu ayat itu turun.
h.      Menyesuaikannya dengan sejarah Nabi dan yang terakhir mampu menjelaskan makna dan meng-istinbat-kan hukum darinya.



B.    ANALISIS PRIBADI
 Menurut pendapat saya, tafsir  yang bersumber dari riwayat ini tercatat sebagai tafsir yang disepakati kebolehannya dari pada tafsir yang berlandaskan nalar-ijtihad (tafsir bi al-ra’yi) yang masih diperselisihkan oleh beberapa ulama. Kendatipun demikian, tafsir seperti ini membuat penafsiran atas ayat-ayat Al-Qur’an karena ketergantungan terhadap riwayat yang ada. Karya-karya tafsir ma’tsur yang belakangan pada umumnya hanya berupa ulangan dan nukilan dari karya-karya tafsir pendahulunya. Hal ini bisa dilihat dalam tafsir Ibn Katsir ataupun setelahnya, yang banyak memiliki kesamaan dengan pendahulunya seperti Al-Thabari, Ibn ‘Athiyyah dan lainnya. Yang membedakannya hanyyalah penyajian dan pembahsannya saja.



3.     
BAB III
الخاتمة
A.  KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas mengenai tafsir bi al-ma’tsur  dan Tafsir bi al-ra’yi dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur  adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para sahabat termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran ini adalah merupakan jalan yang paling aman untuk menghindari terjadinya salah pemahaman terhadap makna ayat al-Qur’an yang maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah dimulai dari masa sahabat dan mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami bagi orang yang semasa dengan mereka. Tidak mencakup semua ayat al-Qur’an, dan mereka juga menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang semasa dengan mereka.
Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam, karena sumber yang dipakai adalah sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam, keseragamannya hanya akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan rasio ini akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat, masa, kondisi dan situasi.
Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena tafsir ini tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal. Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi al-ma’tsur.
Tafsir bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan dengan masa ke-kinian, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak pemikiran dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya sudah tetap, maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber tafsirnyalah yang kemudian bisa berubah-ubah.



DAFTAR PUSTAKA
Al – ghazali, Muhammad. 1997. Berdialog dengan Al-qur’an. Bandung : MIZAN
Al – qaradhawi, yusuf. 1999. Berinteraksi dengan Al-Qur’an. Jakarta : Gema Insani
Anwar, Rosihan. 2007. Ulumul Al- qur’an. Bandung
As-Shalih, Subhi. 1999. Membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus
Al-Qaththan, Mana’ Khalil. 2000.  Maba>hits fi>> ‘Ulum al-Qur’an.
[t.kt]. Mansyurat al-Ashr al Hadits



[1]. Manna’ Khalil Al-Qaththan, Mabhits fi Ulumul Qur’an, {t.kt},  2000, hlm. 337.
[2]. Ahmad Akrom, sejarah dan metodologi tafsir, Rajawali Press, Jakarta, 1992. Hlm. 43
[3]. Az-Zarqani, op. cit., hlm. 481. Taimiyyah, op. cit., hlm. 28-29.
[4]. Adz-Dzahabi, op. cit., hlm. 481.
[5]. Rosian Anwar, ulu>mul Qur’a>n, bandung, 2007, hlm. 219.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar