MAKALAH
التcفسير
بالرواية و الدراية
Dipresentasikan
pada Mata Kuliah Ulumul Qur’an
Oleh
Dosen Pembimbing Ibnu Rowandi Ma
Oleh :
ADTMAN
A. HASAN
Nim:131032002
PROGRAM
STUDI BAHASA ARAB
FAKULTAS
TARBIYAH DAN ILMU KEGURUAN
IAIN
SULTAN AMAI GORONTALO
TAHUN
2013/2014
BAB I
مقدمة
A. BAGAN (مخطط/رسم البيان)
TAFSIR BI
AL-MA’TSUR
DAN TAFSIR
BI AR-RA’YI
|
Klasifikasi
|
Definisi
|
Tafsir
bi riwayah
|
Tafsir
bi diroyah
|
Kesimpulan
|
Empat
otoritas yang menjadi sumber penafsiran tafsir bi al-ma’tsur
|
Tafsir
bi Al-Ma’tsur
|
Contoh
|
Contoh
|
Analisis
Pribadi
|
Tafsir
Bi Ar-Ra’yi
|
Pendapat
Para Ulama
|
B.
DEFINISI TAFSIR BI RIWAYAH DAN BI DHIROYAH
1. Tafsir Bi
riwayah / Bi Al-Ma’tsur
التفسير با لماثور : هو الذ ي يعتمد علي صحيح المنقول بالمراتب التي
ذكرت سابقا في شروط المفسر, من تسير القرآن, او بالسنة لكتاب الله, او
بما روي عن الصحابة لانهم اعلم الناس بكتاب الله, او بما قاله كبار التابعين لانهم
تلقوا ذالك غالبا عن الصحابة.[1]
Tafsir bi Al-Ma’tsur ialah tafsir yang
berpegang kepada riwayat yang shahih, yaitu menafsirkan al-quran dengan
al-quran, atau dengan sunnah karena ia berfungsi menjelaskan kitabulla>h,
atau dengan perkataan para sahabat karena merekalah yang paling mengetahui kitabulla>h atau dengan apa yang di katakan oleh
tokoh-tokoh besar tabi’yn karena pada umumnya mereka menerima dari para
sahabat.
2.
Tafsir Bi Diroyah / Bi
Ra’yi
التفسير
بالراي : هو ما يعتمد فيه المفسر في بيان المعني علي فهمه
الخاص
و استنبا طه بالراي المجرد .
Tafsir bi ar-ra’yi yaitu tafsir yang mufassirnya di
dalam menjelaskan makna hanya mengandalkan pemahaman dan menistinbathkannya
dengan menggunakan logika semata.
C. PENDAPAT PARA ULAMA
1. Tafsir bi
Al-ma’tsur
·
Menurut Muhammad Husain Al-Dzahabiy
ما جاء القرآن
نفسه من البيان وتفصيل لبعض اياته, وما نقل عن الرسول الله صلي الله عليه وسلم,
وما نقل عن الصحابة رضوان الله عليهم, وما نقل عن التابعين, من كل ما هو بيان و
توضيع لمراد الله تعالي من نصوص كتاب
الكريم
Sesuatu yang
berasal dari al-quran berupa penjelasan atau uraian bagi sebahagian ayatnya,
atau sesuatu yang berasal dari Rasul (hadits, penulis), atau yang berasal dari
para sahabat ra dan dari tabi’in, selama
(semua itu) berupa penjelasan atau uraian mengenai maksud Allah Swt dari Nash
kitab al-quran.
·
Menurut Muhammad ‘abd al-‘Azhim
al-Zarqany dan Muhammad ‘Aliy al-Shabuniy
ما حاء في القران أو السنة, كلام الصحابة, بيانا لمراد
الله تعالي
Sesuatu yang
berasal dari al-quran, atau sunnah maupun perkataan sahabat yang menjelaskan
maksud Allah Swt (di dalam al-quran,
penulis)
·
Menurut Shalah ‘abd al-fattah
al-khalidiy
ما روي عن الرسول الله صلي االه عليه و سلم, او الصحاية,
او التابعين, من رواية نقليه مروية في تفسير القرأن
Sesuatu yang
diriwayatkan dari Nabi Saw, dari para sahabat, atau tabi’in berupa riwayat yang
terkait dengan penafsiran al-quran
2. Tafsir Bi
riwayah
·
Menurut al-Rumiy
{هو} عبارة عن تفسير القرأن
بالإجتهاد
Yaitu istilah
untuk penafsiran al-quran dengan menggunakan ijtihad
·
Menurut al-Dzahabiy
{هو} عبارة عن تفسير القرأن
بالإجتهاد, بعد معرفة المفسر لكلام العرب و منا حيهم في القول, ومعرفة للألفظ
العربية ووجوه د لالتها, و استعانته في ذالك بالشعر الجاهلي وو قوفه علي أسباب
النزول, ومعرفة بالنايخ و المنسوخ من ايات القرأن, و غير ذالك من الأدوات يحتاج
اليه المفسر
Yaitu istilah
untuk penafsiran al-quran dengan menggunakan ijtihad, setelah seorang mufassir
tersebut menguasai kalam arab dan pemakaiannya di dalam perkataan, mengetahui
bahasa arab, dan wujuh dilalahnya, serta usahanya untuk merujuk kepada sya’ir
jahiliyyah, asbab al-nuzul, mengetahui nasikh dan mansukh, dan ilmu-ilmu lain
yang dibutuhkan oleh para mufassir
·
Menurut al-Shabuniy
...يعتمد علي إجتهاد المبني علي
اصول الصحيحة, وقواعد سمليمة متبة
Yaitu tafsir
dengan menggunakan ijtihad, yang dibangun atas dasar yang shahih serta kaidah
yang benar dan patut diikuti.
BAB II
البحث
A. KLASIFIKASI
TAFSIR BI AL MA’TSUR DAN BI AR-RA’YI
1. Tafsir bi Al –
ma’tsu>r (Ar-riwayah)
Sebagaaimana di jelaskan Al – farmawy,
tafsir bi Al – ma’tsu>r (disebut pula bi Ar-riwayah dan an-naql) adalah
penafsiran Al-qur’a>n yang mendasarkan pada penjelasan al-qur’an sendiri,
penjelasan rasul, penjelasan para sahabat melalui ijtihadnya, aqwal tabi’in.[2]
Jadi bila
merujuk pada definisi di atas, ada empat otoritas yang menjadi sumber
penafsiran bi Al-ma’tsu>r.
a.
Al-qur’an yang dipandang sebagai terbaik terhadap
al-qur’an sendiri. Misalnya, penafsiran kata muttaqin pada surat
Ali-imran {33}:1 dengan menggunakan kandungan ayat berikutnya, yang menjelaskan
bahwa yang dimaksud adalah menafkahkan hartanya, baik di waktu lapang maupun
sempit, dan seterusnya.
b.
Otoritas hadis Nabi yang memang berfungsi sebagai
penjelas (mubayyin) Al-qur’an. Misalnya, penafsiran Nabi terhadap kata
Az-zulm’ pada surat al-an’am {6} dengan pengertian syirik; dan pengertian
ungkapan ‘Al-quwwah dengan Ar-ramy (panah) pada firman Allah:
( (#rÏãr&ur Nßgs9 $¨B
OçF÷èsÜtGó$#
`ÏiB
;o§qè% ÆÏBur ÅÞ$t/Íh È……@øyÜø9$#
Artinya:
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka
kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda “ (Q.S Al-Anfal [8]:60)
c.
Otoritas
penjelasan sahabat yang di pandang sebagaiorang yang banyak mengetahui
Al-qur’an. Misalnya, penafsiran Ibnu Abbas(w. 68/687) terhadap kandungan surat
An-Nashr dengan kedekatan waktu kewafatan Nabi.
d.
Otoritas
penjelasan Tabi’in yang dianggap orang yang bertemu langsung dengan sahabat.
Misalnya, penafsiran tabi’in terhadap surat Ash-Shaffat {{[37]: 65 dengan
sya’ir ‘Imr Al-Qays.
Tidak diperoleh alasan yang memadani mengapa penafsiran tabi’in
dijadikan sebagai salah satu sumber tafsir bil Al-ma’tsur. Padahal,
dalam menafsirkan Al-Qur’an, mereka tidak hanya mendasarkan pada riwayat yang
diterimanya dari sahabat, tetapi juga terkadang memasukkan ide-ide mereka.
Dengan kata lain, terkadang mereka pun melakukan ijtihad dan memberi
interpretasi sendiri terhadap Al-Quran.[3]
Disamping itu, mereka –berbeda dengan sahabat – tidak mendengar langsung dari
Nabi, dan tidak menyaksikan langsung situasi dan kondisi ketika Al-Quran turun.[4] Oleh sebab itu, otoritas mereka sebagai sumber
penafsiran Al-Quran bi Al-ma’tsu>r masih diperdebatkan para ulama.
Diantara para ulama yang menolak otoritas mereka adalah Ibnu Syaibah dan Ibnu
‘Aqli. berkenaan dengan otoritas mereka, Abu Hanafiah berkata, “Apa yang
datang dari Rasulullah harus diterima;Apa yang datang dari tabiin, (kita
menyikapinya) mereka adalah laki-laki dan kami pun laki-laki. Namun, mayoritas
ulama, seperti Ad-Dahhak bin Al-Mujahim (w. 118/736), Abi Al-‘Aliyyah
Ar-Rayyah, Hasan Basri (w. 110/728), dan ‘Ikrimah menerima otoritas mereka
karena umumnya mendengar langsung dari sahabat.
Dalam pertumbuhannya, tafsi>r bi Al-ma’tsu>r menempuh tiga periode I,
yaitu masa Nabi, sahabat, dan permulaan masa tabiin ketika tafsir belum
tertulis dan secara umum periwayatannya tersebut secara lisan (musyafahah).
Periode II, bermula dengan pengodifikasian hadis secara resmi pada masa
pemerintahan ‘Umar bin ‘Abd Al-‘Zziz (95-101). Tafsir bi Al-ma’tsu>r ketika
itu ditulis bergabung dengan penulisan hadis dan dihimpun dalam salah satu
bab-bab hadis. Periode III, dimulai dengan penyusunan kitab tafsir bi
Al-ma’tsu>r yang berdiri sendiri.
Di antara kitab yang dipandang menempuh corak bi Al-ma’tsu>r adalah:
1)
Jamil’
Al-Bayan fi Tafsir Al-Quran, karya Ibn Jarir
Ath-Thabari (w. 310/923),
2)
Anwar
At-Tanzil, karya Al-Baidhawi (w. 685/1286),
3)
Al-Durr
Al-Mantsur fi At-Tafsir bi Al-Ma’tsur, karya Jalal
Ad-Din As-Suyuthi (w. 911/ 1505),
4)
Tanwin
Al-Miqbas fi Tafsir Ibn Abbas karya Fairuz
Zabadi (w. 817/1414), dan
5)
Tafsi>r
Al-Qura>n Al-Adzi>m, karya Ibnu Katsir
(w.774/1373)
Satu-satunya kitab tafsir bi Al-ma’tsur yang barang kali murni
adalah tafsir Ad-Durr Al-Mantsu>r, karya As-Suyuthi. Mengingat
merupakan corak tafsir yang merujuk –di antaranya—kepada Al-Quran dan Al-Hadis,
dua sumber kehidupan umat islam, dapat dipastikan tafsi>r bi Al-ma’tsu>r
memiliki keistimewaan tertentu dibandingkan dengan corak penafsiran
lainnya. Di antara keistimewaan itu, sebagaimana dicatat Quraish Shihab,adalah
sebagai berikut:
1.
Menekankan
pentingnya bahasa dalam memahami Al-Quran.
2.
Memaparkan
ketelitian redaksi ayat ketika menyampaika pesan-pesannya.
3.
Mengikat
mufassir dalam bingkai ayat-ayat sehingga membatasinya untuk tidak terjerumus
dalam subjektivitas yang berlebihan.
Sementara itu, Adz-Dzahabi mencatat kelemahan-kelemahan tafsir bi
Al-ma’tsu>r sebagai berikut.
1.
Terjadi
pemalsuan (wadh’) dalam tafsir. Dicatat oleh Adz-Dzahabi bawha pemalsuan
itu terjadi pada tahun-tahun ketika terjadi perpecahan di kalangan umat islam
yang menimbulkan berbagai aliran seperti Syi’ah, Khawarij, dan Murji’ah. Dia
antara sebab pemalsuan itu, menurutnya, adalah fanatisme madzahab, politik, dan
usaha-usaha umat islam. Terma pemalsuan dalam tafsir yang dikatakan Adz-Dzahabi
dengan kegiatan penafsiran di kalangan penganut aliran-aliran islam (mungkin
maksudnya non-Ahlussunnah wal Jama’ah) tidak selamanya tepat. Penulis
melihatnya sebagai perbedaan perspektif dalam menafsirkan Al-Quran, suatu hal
yang tidak selamanya negative, bahkan tidak dapat dihindarkan. Bila kemunculan
aliran-aliran itu harus tetap dikaitkan dengan kelemahan tafsir bi Al-ma’tsu>r,
kelemahan itu berupa dijadikannya ayat-ayat Al-Quran sebagai legitimasi
ajaran-ajaran aliran tersebut.
2.
Masuknya
unsur Israiliyat yang didefinisikan sebagai unsur-unsur Yahudi dan Nasrani yang
masuk ke dalam penafsiran Al-Quran . persoalan Israiliyat sebenarnya sudah
muncul semenjak Nabi masih ada. Hal itu berdasarkan dua hadis Nabi yang
diriwayatkan Ahmad bi Hambal tenang dialog Umar bin Al-Kaththab dan Nabi
mengenal tulisan yang besar dari Ahli Kitab, dan hadis Al-Bukhari yang berisi
perintah Nabi untuk tidak membenarkan dan tidak pula mendustakan berita yang
datang dari Ahli Kitabin Kedua hadis itu mengindikasikan bahwa pada masa Nabi,
sebagian sahabat menerima riwayat Israiliyat. Namun, pada masa itu, Israiliyat
belum menjadi persoalan yang parah, mengingat yang dilakukan para sahabat masih
berada dalam batas-batas kewajaran. Israiliyat menjadi persoalan serius ketika
berada pada masa tabiin. Pada saat itu, Israiliyat tidak saja telah bercampur
antara yang sahih dan yang batil, tetapi juga banyak yang dapat merusak akidah
umat. Dalam sejarah, Israiliyat demacam itu masuk dan tersebar melalui tafsir bi
Al-ma’tsu>r.
3.
Penghilangan
sanad
Eksistensi sadad yang menjadi salah satu kualifikasi
keakuratan sebuah riwayat, ternyata pada sebagian tafsi>r bi Al-ma’tsu>r
tidak dikemukakan lagi. Akibatnya, penilaian terhadap riwayat itu sulit
dilakukan sehingga sulit pula untuk membedakan mana yang sahih dan mana yang
tidak. Tafsir muqatil bin Sulaima>n barangkali cukup representative
bagi contoh kitab tafsir yang tidak disertai dengan sanad.
4.
Terjerumusnya
sang mufassir ke dalam uraian kebahasaan dan kesastraan yang bertele-tele
sehingga pesan pokok Al-Quran menjadi kabur.
5.
Sering
konteks turunnya ayat (asabab An-Nuzu>l) atau sisi kronologis
turunnya ayat-ayat hukum yang dipahami dari uraian (na>sikh-mansu>kh)
hamper dikatakan terabaikan sama sekali sehingga ayat-ayat tersebut bagaikan
turun ditengah-tengah masyarakat yang hampa budaya.[5]
2.
Tafsir Bi Ar-ra’yi (Al-dirayah)
Berdasarkan pengertian etimologi, “ra’yi” berarti keyakinan (I’tiqad), analogi, (qiyas), dan
ijtihad. Dan “ra’yi” dalam terminologi tafsir adalah ijtihad. Dengan
demikian, tafsir bi Ar-ra’yi (disebut juga tafsir bi Al-dirayah)
–sebagaimana didefinisikan Husen Adz-Dzahabi – adalah tafsir yang penjelesannya
diambil berdasarkan ijtihad dan pemikiran mufassir setelah terlebih dahulu
mengetahui bahasa Arab serta metodenya, dalil huku yang ditunjukkan, serta
problema penafsiran seperti Asba>b
An-Nuzu>l, na>sikh-mansu>kh, dan sebagainya. Adapun al-farmawi
mendefinisikannya sebagai berikut: Menafsirkan Al-quran dengan ijtihad setelah
terlebih dahulu si mufassir bersangkutan mengetahui meetode yang digunakan
orang-orang arab ketika berbicara dan mengetahui kosa kata-kosa kata arab
beserta muatan-muatan artinya. Untuk menafsirkan A-Qur’an dengan ijtihad, si
mufassir pun di bantu oleh syi’ir jahiliyyah, asbab an-nuzul, nasikh-mansukh,
dan lainnya yang dibutuhkan oleh seorang mufassir sebagaimana diutarakan pada
penjelasan tentang syarat-syarat menjadi mufassir.
Tafsir bi Al-ra’yi muncul sebagai sebuah “corak” penafsiran
belakangan setelah tafsir bi Al-ma’tsu>r muncul walaupun sebelum itu ra’yu
dalam pengertian akal sudah digunakan para sahabat ketika menafsirkan
Al-Quran. Apalagi kalau kita tilik bahwa salah satu sumber penafsiran pada masa
sahabat adalah ijtihad.
Di antara sebab yang memicu kemunculan “corak” tafsir bi Al-ra’yi adalah
semakin majunya ilmu-ilmu keislaman yang diwarnai dengan kemunculan ragam
disiplin ilmu, karya-karya para ulama, aneka warna metode penafsiran, dan
pakar-pakar di bidangnya masing-masing. Akibatnya, karya tafsir seorang mufassir
sangat diwarnai oleh latar belakang disiplin ilmu yang dikuasainya. Di antara
mereka, ada yang plebih menekankan pada telaah balaghah seperti Az-Zamakhsyari,
atau telaah hukum-hukum syara’ seperti Al-Quran, atau telaah keistimewaan
bahasa seperti Abi As-Su’ud, atau telaah qira’ah seperti An-Naisaburi dan
An-Nasafi, atau telaah madzhab-madzhab kalam dan filsafat seperti Ar-Razi, atau
telaah-telaah lainnya. Hal ini tampaknya dapat dipahami sebab di samping
sebagai seorang mufassir, seseorang bisa saja juga ahli dalam bidang fiqih,
bahasa, filsafat, astronomi, kedokteran, atau kalam. Dengan demikian, tatkala
ada ayat Al-Quran yang berkaitan dengan disiplin ilmu yang dikuasainya, mereka
keluarkan sebuah pengetahuan tentangnya, sampai-sampai terkadang mereka lupa
akan inti dari ayat bersangkutan.
Kemunculan tafsi>r bi Ar-ra’yu dipicu pula oleh hasil interaksi
umat islam dengan peradaban Yunani yang banyak menggunakan akal. Oleh karena
itu, di dalam tafsi>r bi Al-ra’yi akan ditemukan peranan akal sangat
dominan. Dari sana, muncullah madrasah-madrasah tafsir yang beragam sebagaimana
yang kita lihat saat ini.
Mengenai keabsahan tafsi>r bi Al-ra’yi, para ulam terbagi ke
dalam dua kelompok.
1.
Kelompok
yang melarangnya. Bahkan, menjelang abad II H., “corak” penafsiran ini belum
mendapatkan legitimasi yang luas dari para ulama yang menolaknya. Ulama yang
menolak penggunaan “corak” tafsir ini mengemukakan argumentasi-argumentasi
berikut ini:
a.
Menafsirkan
Al-Quran berdasarkan ra’yi berarti membicarakan (firman) Allah tanpa
pengetahuan. Dengan demikian, hasil penafsirannya hanya bersifat perkiraan
semata. Padahal, Allah berfirman :
wur ß#ø)s? $tB }§øs9 y7s9 ¾ÏmÎ/ íOù=Ïæ 4 ¨bÎ) yìôJ¡¡9$# u|Çt7ø9$#ur y#xsàÿø9$#ur @ä. y7Í´¯»s9'ré& tb%x. çm÷Ytã Zwqä«ó¡tB ÇÌÏÈ
Artinya:
“Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak
mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, dan hati, semuanya
itu akan diminta pertanggunganjawabnya.” (Q.S.
Al-Isra’[17]: 36)
b.
Yang
berhak menjelaskan Al-Quran hanyalah Nabi, berdasarkan firman Allah:
ÏM»uZÉit7ø9$$Î/ Ìç/9$#ur 3 !$uZø9tRr&ur y7øs9Î) tò2Ïe%!$# tûÎiüt7çFÏ9 Ĩ$¨Z=Ï9 $tB tAÌhçR öNÍkös9Î) öNßg¯=yès9ur crã©3xÿtGt ÇÍÍÈ
Artinya:
“Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu
menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan
supaya mereka memikirkan” (Q.S. Al-Nahl [16]: 44)
c.
Rasulullah
bersabda:
مَنْ قَالَ فِي القُرْاَنِ بِرَأْيِهِ أَوْ
بِمَا لَا يَعْلَمُ فَلْيَتَبَوَّأْ مَقْعَدَهُ
Artinya:
“Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar
pikirannya semata, atas dasar sesuatu yang belum diketahuinya,maka
persiapkanlah mengambil tempat di neraka.”
مَنْ قَالَ فِي
القُرْاَنِ بِرَأْيِهِ فَأَصاَبَ فَقَدْ أَخْطَأَ
Artinya:
“Siapa saja menafsirkan Al-Quran atas dasar
pikirannya semata, maka penafsirannya dianggap keliru walaupun secara kebetulan
hasil penafsirannya itu benar”.
d.
Sesudah
merupakan tradisi di kalangan sahabat dan tabi’in untuk berhati-hati ketika
berbicara tentang penafsiran Al-Quran. Misalnya Abu Bakar pernah berkata ketika
ditanya tentang penafsiran Al-Quran:
اَيُّ سَمَاءٍ تُظِلُّنِي, وَاَيُّ اَرْضٍ
تُقِلُّنِي, وَاَيْنَ اَذْهَبُ, وَكَيْفَ اَصْنَعُ, إِذَ قُلْتُ فِي حَرْفٍ مِنْ
كِتَابِ اللهِ بِغَيْر مَا أَرَادَ تَبَارَكَ وَ تَعَالَي
Artinya:
“Langit mana yang akan melindungiku; bumi mana yang memberiku
tempat berpihak, ke mana aku hendak pergi; dan apa yang hendak aku lakukan,
jika aku menjelaskan Al-Quran dengan sesuatu yang tidak dikehendaki Allah.”
2.
Kelompok
yang mengizinkannya. Mereka mengemukakan argumentasi-argumentasi berikut.
a.
Di dalam
Al-Quran banyak ditemukan ayat-ayat yang menyerukan untuk mendalami kandungan-kandungan
Al-Quran. Misalnya firman Allah:
xsùr& tbrã/ytGt c#uäöà)ø9$# ôQr&
4n?tã
A>qè=è% !$ygä9$xÿø%r& ÇËÍÈ
Artinya:
“Maka apakah mereka tidak memerhatikan Al-Quran
ataukah hati mereka terkunci?”
(Q.S. Muhammad [47]: 24)
…. öqs9ur
çnru n<Î) ÉAqß§9$#
#n<Î)ur
Í<'ré& ÌøBF{$#
öNåk÷]ÏB
çmyJÎ=yès9
tûïÏ%©!$# ¼çmtRqäÜÎ7/ZoKó¡o
öNåk÷]ÏB
3
Artinya:
“_Dan kalau mereka menyerahkannya kepa Rasul dan
Ulil Amri di antara mereka, tentulah orang-orang yang ingin mengetahui
kebenarannya ((akan dapat) mengetahuinya dari mereka (Rasul dan Ulil Amri).”
(Q,S. An-Nisa’ [4]: 83)
Ayat yang pertama, kata mereka, jelas menyuruh kita
untuk merenungkan dan memikirkan Al-Quran. Ayat kedua menjelaskan bahwa di
dalam Al-Quran terdapat beberapa ayat yang maksudnya dapat ditangkap oleh hasil
ijtihad orang-orang pandai.
b.
Seandainya
tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, mengapa ijtihad diperbolehkan. Nabi sendiri
tidak menjelaskan setiap ayat Al-Quran. Ini menunjukkan bahwa umatnya diizinkan
berijtihad terhadap ayat-ayat yang belumdijelaskan Nabi.
c.
Para
sahabat sudah biasa berselisih pendapat mengenai penafsiran suatu ayat. Ini
menunjukkan bahwa mereka pun menafsirkan Al-Quran dengan ra’yi-nya.
Seandainya tafsir bi Ar-ra’yi dilarang, tentunya tindakan para sahabat itu
keliru.
d.
Rasulullah
pernah berdoa untuk Ibn ‘Abbas. Do’a itu berbunyi:
اللَّهُمَّ فَقِّهْهُ فِي الدِّيْنِ وَ عَلِّمْهُ التَّأْوِيْلَ
Artinya:
“Ya Allah berilah pemahaman agama kepada Ibn ‘Abbas
dan ajarilah ia takwi>l.”
Seandainya cakupan takwil hanya mendengar dan menuqil
riwayat saja, tentunya pengkhususan doa di atas untuk Ibn ‘Abbas tidak bermakna
apa-apa. Dengan demikian, maka taqwil yang dimaksud dalam doa itu adalah
sesuatu di luar penuqilan, yaitu ijtihad dan pemikiran.
Selanjutnya, para ulama membagi “corak” tafsir bi Ar-ra’yi pada
dua bagian:
Ada tafsir bi
Ar-ra’yi yang dapat diterima/terpuji (maqbul/mahmudah) da nada pula yang
ditolak/tercela (mardud/madzum). Tafsir bi ar-ra’yi dapat diterima
selama menghindari hal-hal berikut:
1.
Memaksakan
diri mengetahui makna yang dikehendaki Allah pada suatu ayat, sedangkan ia
tidak memenuhi syarat untuk itu.
2.
Mencoba
menafsirkan ayat-ayat yang maknanya hanya diketahui Allah (otoritas Allah
semata).
3.
Menafsirkan
Al-Quran dengan disertai hawa nafsu dan sikap istihsan (menilai bahwa sesuatu
itu baik semata-mata berdasarkan persepsinya).
4.
Menafsirkan
ayat-ayat untuk mendukung suatu madzhab yang salah dengan cara menjadikan paham
madzhab sebagai dasar, sedangkan penafsirannya mengikuti paham madzhab
tersebut.
5.
Menafsirkan
Al-Quran dengan memastikan bahwa makna yang dikehendaki Allah adalah
demikian…tanpa didukung dalil.
Selama mufassir bi ar-ra’yi menghindari kelima hal di atas dengan
disertai niat ikhlas semata-mata karena Allah, maka penafsirannya dapat
diterima dan pendapatnya dapat dikatakan rasional. Jika tidak demikian, berarti
ia menyimpang dari cara yang dibenarkan, sehingga penafsirannya tidak dapat
diterima.
Di antaro contoh tafsir bi
ar-ra’yi yang tidak dapat diterima
adalah sebagai berikut:
1.
Penafsiran
golongan Syi’ah terhadap kata “Al-Baqarah” (Q.S Al-Baqarah [2]: 67) dengan
‘Aisyah r.a.
2.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap surah Al-Baqarah [2] ayat 74:
¨bÎ)ur z`ÏB
Íou$yfÏtø:$# $yJs9 ã¤fxÿtFt
çm÷ZÏB
ã»yg÷RF{$# 4 ¨bÎ)ur
$pk÷]ÏB $yJs9 ß,¤)¤±o
ßlã÷usù
çm÷YÏB
âä!$yJø9$#
4 ¨bÎ)ur
$pk÷]ÏB $yJs9 äÝÎ6öku
ô`ÏB
Ïpuô±yz
«!$#
3
Artinya:
“Padahal di antara batu-batu itu sungguh ada yang
mengalir sungai-sungai daripadanya dan di antaranya sungguh ada yang terbelah
lalu keluarlah mata air daripadanya dan di antaraya sungguh ada yang meluncur
jatuh, karena takut kepada Allah.” (Q.S.Al-Baqarah :74)
Mereka menduga ada batu yang dapat berpikir,
berbicara, dan jatuh karena takut kepada Allah, seperti teks ayat di atas.
3.
Penafsiran
sebagian mufassir terhadap surah An-Nahl [16] ayat 68:
4ym÷rr&ur y7/u
n<Î) È@øtª[$# Èbr&
ÉϪB$# z`ÏB
ÉA$t6Ågø:$# $Y?qãç/
z`ÏBur
Ìyf¤±9$# $£JÏBur tbqä©Ì÷èt ÇÏÑÈ
Artinya:
“Dan Tuhanmu mewahyukan kepada lebah, Buatlah
sarang-sarang dibukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat-tempat yang
dibikin manusia.”
Mereka berpendapat bahwa di
antara lebah-lebah itu, ada yang di angkat sebagai nabi-nabi yang diberi wahyu
oleh Allah, dan mereka mengemukakan cerita-cerita yang bohong tentang kenabian
lebah. Semantara itu, sebagian yang lain berpendapat bahwa ada tetesan lilin
jatuh ke pohon, kemudian tetesan itu dipindahkan oleh lebah yang dengannya ia
membuat sarang-sarang dan madu.
4.
Perhatikan
sebagian orang terhadap surat Ar-Rahman [55]: ayat 33)
u|³÷èyJ»t
Çd`Ågø:$# ħRM}$#ur ÈbÎ)
öNçF÷èsÜtGó$#
br& (#räàÿZs?
ô`ÏB
Í$sÜø%r& ÏNºuq»yJ¡¡9$# ÇÚöF{$#ur
(#räàÿR$$sù
4 w
cräàÿZs?
wÎ)
9`»sÜù=Ý¡Î0 ÇÌÌÈ
Artinya :
“
Hai jama'ah jin dan manusia, jika kamu sanggup menembus (melintasi)
penjuru langit dan bumi, Maka lintasilah, kamu tidak dapat menembusnya kecuali
dengan kekuatan.”
Ø Pandangan Ulama Tentang Kebolehan
Tafsîr bi al-Ra’yi
Ulama
berbeda pandangan mengenai kedudukan tafsîr bi al-ra’yi. Ada yang melarang
secara mutlak, ada yang membolehkan secara mutlak dan ada pula yang membolehkan
dengan memberikan persyaratan. Masing-masing mereka mengemukakan argumen
sebagai penguat pendapatnya, baik aqli’, maupun naqli. Adapun alasan yang
dipakai oleh mereka yang menolak tafsîr bi al-ra’yi adalah:
1)
Menurut
mereka tafsîr bi al-ra’yi sama halnya dengan perkataan terhadap Allâh
tanpa memiliki ilmu, dan hal itu dicela oleh ayat al-Qur’ân.\
2)
Allâh
telah menobatkan Rasul-Nya sebagai penjelas al-Qur’ân, itu artinya –menurut
mereka- tidak boleh bagi yang lain untuk menafsirkan al-Qur’ân dengan logikanya
3)
Rasul
telah melarang untuk menafsirkan al-Qur’ân dengan logika (tafsîr bi al-ra’yi),
sebagaimana yang terdapat dalam hadîts di atas.
4)
Adanya
atsâr yang menjelaskan bahwa sahabat dan tabi’in sangat memuliakan tafsîr dan
merasa keberatan berpendapat –dengan ra’yi- di dalam tafsîr.
Adapun alasan yang dipakai oleh mereka yang membolehkan tafsîr bi
al-ra’yi adalah:
1)
Adanya
perintah Allâh untuk men-tadabbur al-Qur’ân, yang berarti menyuruh untuk
menela’ahnya dengan memberdayakan akal.
2)
Allâh
telah memuji orang-orang yang meng-istinbath-kan makna dan dilalah ayat, mereka
adalah ulu al-Albâb, mereka adalah orang yang ber-ijtihâd di dalam menafsirkan
al-Qur’ân dengan ra’yi-nya.
3)
Menurut
mereka jika tafsîr bi al-ra’yi memang dilarang, bagaimana mungkin ijtihâd
dibolehkan.
4)
Adanya
do’a Nabi untuk ibn ‘Abbâs : “ اللهم فقهه في الدين
وعلمه التأويل
”. Jadi bagaimana mungkin tafsîr bi al-ra’yi dilarang, padahal di sisi lain
justru Nabi mendo’akan ibn ‘Abbâs dengan do’a ini
5)
Kenyataan
yang menunjukkan adanya perbedaan penafsiran di kalangan sahabat. Hal ini
menunjukkan bahwa penafsiran mereka juga berasal dari ijtihâd mereka.
Terlepas
dari kedua kelompok di atas, al-Dzahabiy dan ‘Allâmah al-Râghib al-Ashfahâniy
berpendapat bahwa tafsîr bi al-ra’yi dibolehkan selama sesuai dengan al-Qur’ân
dan Sunnah serta menjaga syarat-syarat tafsîr, Begitu pula halnya dengan
pendapat Ibn Taimiyah dan al-Zarqâniy.
Dan
terkait dengan kebolehan tafsîr bi al-ra’yi, kemudian al-Zarqâniy mengemukakan
langkah kerja yang harus ditempuh oleh mereka yang menafsirkan al-Qur’ân dengan
tafsîr bi al-ra’yi ini yaitu:
1)
Meng-istinbat-kan
maknanya dari al-Qur’ân, hadîts, atau perkataan sahabat maupun tabi’in.
2)
Jika
tidak ditemukan, maka mesti berijtihad dengan langkah:
a.
Dimulai
dari pembahasan terkait lafaz mufrad, yang meliputi sharf dan isytiqâq.
b.
Mencari
makna kalam sesuai susunannya yang terkait dengan i’râb dan balaghah.
c.
Mendahulukan
makna haqîqi dari pada majâzi, d. Memperhatikan asbâb al-nuzûl.
d.
Menjaga
maksud dari siyâq al-kalam.
e.
Memperhatikan
sâbiq dan lâhiq, baik dalam satu ayat, maupun antar ayat.
f.
Menyesuaikan
antara tafsir dengan yang di-tafsîr-kan.
g.
Menyesuaikannya
dengan ilmu-ilmu lain yang terkenal, termasuk dengan sejarah bangsa arab waktu
ayat itu turun.
h.
Menyesuaikannya
dengan sejarah Nabi dan yang terakhir mampu menjelaskan makna dan
meng-istinbat-kan hukum darinya.
B.
ANALISIS PRIBADI
Menurut pendapat saya, tafsir yang bersumber dari riwayat ini tercatat
sebagai tafsir yang disepakati kebolehannya dari pada tafsir yang berlandaskan
nalar-ijtihad (tafsir bi al-ra’yi) yang masih diperselisihkan oleh
beberapa ulama. Kendatipun demikian, tafsir seperti ini membuat penafsiran atas
ayat-ayat Al-Qur’an karena ketergantungan terhadap riwayat yang ada.
Karya-karya tafsir ma’tsur yang belakangan pada umumnya hanya berupa ulangan
dan nukilan dari karya-karya tafsir pendahulunya. Hal ini bisa dilihat dalam
tafsir Ibn Katsir ataupun setelahnya, yang banyak memiliki kesamaan dengan
pendahulunya seperti Al-Thabari, Ibn ‘Athiyyah dan lainnya. Yang membedakannya
hanyyalah penyajian dan pembahsannya saja.
3.
BAB III
الخاتمة
A. KESIMPULAN
Dari pembahasan di atas mengenai tafsir
bi al-ma’tsur dan Tafsir bi
al-ra’yi dapat disimpulkan bahwa tafsir bi al-ma’tsur adalah suatu usaha untuk memahami ayat-ayat
al-Qur’an dengan al-Qur’an atau dengan al- Hadits bahkan perkataan para sahabat
termasuk juga para tabi’in, dan penafsiran ini adalah
merupakan jalan yang paling aman untuk menghindari terjadinya salah pemahaman
terhadap makna ayat al-Qur’an yang maknanya kurang jelas, dan tafsir ini sudah
dimulai dari masa sahabat dan mereka hanya menafsirkan bagian-bagian yang sulit
dipahami bagi orang yang semasa dengan mereka. Tidak mencakup semua ayat
al-Qur’an, dan mereka juga menafsirkan bagian-bagian yang sulit dipahami orang
semasa dengan mereka.
Tafsir bi al-ma’tsur pada umumnya seragam,
karena sumber yang dipakai adalah sama, yakni al-Qur’an, Sunnah, perkataan
Sahabat dan seterusnya. Sedangkan tafsir bi al-ra’yi akan jauh dari seragam,
keseragamannya hanya akan terlihat dalam menafsirkan kata-kata yang sudah
sangat jelas tunjukannya, sedangkan pada hal-hal lain, maka penafsiran dengan
rasio ini akan terpengaruh dengan cara seseorang berfikir, menganalisa, tempat,
masa, kondisi dan situasi.
Tafsir bi al-ra’yi lebih tertutup
peluangnya untuk tercampur dengan israiliyyat, karena tafsir ini
tidak akan memakai sumber yang tidak jelas sumbernya dan yang tidak masuk akal.
Sementara peluang itu relatif lebih besar pada tafsir bi
al-ma’tsur.
Tafsir
bi al-ra’yi terlihat lebih dapat dipahami bila dikaitkan
dengan masa ke-kinian, karena tafsir ini akan terus berubah sesuai dengan corak
pemikiran dan zaman, sementara tafsir bi al-ma’tsur, karena sumbernya
sudah tetap, maka sifatnya akan statis, intrepretasi terhadap sumber-sumber
tafsirnyalah yang kemudian bisa berubah-ubah.
DAFTAR
PUSTAKA
Al – ghazali, Muhammad.
1997. Berdialog dengan Al-qur’an. Bandung : MIZAN
Al – qaradhawi, yusuf. 1999. Berinteraksi dengan
Al-Qur’an. Jakarta : Gema Insani
As-Shalih,
Subhi. 1999. Membahas ilmu-ilmu Al-Qur’an. Jakarta : Pustaka Firdaus
Al-Qaththan,
Mana’ Khalil. 2000. Maba>hits
fi>> ‘Ulum al-Qur’an.
[t.kt]. Mansyurat
al-Ashr al Hadits
Tidak ada komentar:
Posting Komentar